Selasa, 11 Januari 2011

Mati Lampu

Oleh : Ruslan Husen

“Ah, mati lampu lagi!” Keluh Iwan yang sedang menonton TV. “Padahal lagi asyik-asyiknya menonton ini”.
Ardi keluar dari kamar, “Apa mati lampu?. Padahal saya mau mengetik tugasku dan tugas itu besok harus dikumpul. Aduh bagaimana ini!!?.”
“Ya, sudah kalau sudah mati lampu, mau apa lagi. Paling besok baru nyala”. Kata Kartini, Ibu mereka.

“Tapi, Ibu tugasku itu sangat penting dan mau dikumpul.”
“Siapa suruh tidak diketik ketika hidup lampu tadi”.
“Iya saya kira matinya nanti sore, ini-kan masih pagi sudah mati.
Lampu yang di maksud di sini, aliran listrik dari PLN. Lampu yang sangat di butuhkan oleh masyarakat. Kejadian dalam kisah itu hanya merupakan gambaran cerita yang menimpa sebuah keluarga ketika mengalami mati lampu.
* * *

Listrik dalam era sekarang, sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Bukan saja di perkotaan tetapi kebutuhan akan listrik juga dibutuhkan di daerah pedesaan. Kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memudahkan pekerjaan banyak yang menggunakan tenaga listrik. Kini kebutuhan listrik telah melintasi batas strata sosial masyarakat.

Perkembangan teknologi telah melahirkan alat-alat produksi yang membantu manusia yang sebahagian besar menggunakan energi listrik. Realitas tersebut menuntut di penuhinya listrik dalam setiap waktu dan wilayah masyarakat. Mulai dari alat-alat rumah tangga, sampai alat-alat produksi di perusahaan semuanya membutuhkan energi listrik.

Pemadaman listrik pada hakikatnya mematikan potensi kreatifitas masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dari padamnya listrik, berbagai kegiatan menjadi terhambat bahkan tidak berfungsi. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan ketersediaan energi listrik adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersama Pemerintah Daerah (Pemda). PLN sebagai pemegang monopoli ketersediaan energi listik dan Pemda yang bekerja untuk mengatasi persoalan masyarakatnya.

Pemadaman listrik di daerah-daerah hampir terjadi setiap saat. Kenyataan itu bukan tidak memperoleh protes dari masyarakat, tetapi karena kejenuhan dan kesibukan mengurus pekerjaan lain, sehingga protes masyarakat hanya berlangsung secara sporadis dan tidak sistematis.

Kalau ingin melihat potensi daerah-daerah, sangat luar biasa besarnya. Pendapatan asli daerah selalu mengalami peningkatan, dan celakanya alokasi hasil pendapatan itu hanya di gunakan untuk proyek-proyek yang tidak bersentuhan langsung pada kepentingan masyarakat. Belum lagi masalah korupsi yang menjamur di birokrasi Pemda ini, semakin menambah suram upaya mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat selalu di tuntut untuk membayar pajak, baik pajak PBB, pajak kendaraan bermotor, dan pajak pertambahan nilai barang. Jumlah pendapatan dari pajak itu bukan tidak sedikit, lalu ditambah lagi dengan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang lain. Maka semakin menambah tingginya jumlah pendapatan daerah. Katanya pajak dan pendapatan daerah yang lain itu akan digunakan untuk kepentingan umum. Tetapi kenyataannya, kepentingan umum yang mana di maksud?. Apakah kepentingan para pejabat itu dengan keluarganya?.

Masyarakat ketika lambat membayar pajak harus rela menerima denda. Kedisiplinan rakyat selalu dituntut, namun disisi lain kebobrokan dan budaya korupsi meraja lela di kalangan birokrasi. Semakin hari, semakin terlihat kesenjangan sosial antara pejabat dengan masyarakatnya. Pejabat tidak lagi menyatu, terjadi batas pemisah serta kecemburuan sosial yang bisa memancing perpecahan.
Hal ini bukannya tidak percaya lagi kepada elit politik di daerah, tetapi minimal ini bisa membudayakan sikap “malu” dengan mau memperhatikan nasib rakyat dengan mengupayakan kesejahteraan. Setidaknya tersedianya energi listrik yang memadai. Kalau alokasi dana untuk penyediaan energi listrik saja tidak bisa, lalu mengapa proyek-proyek besar lainnya itu bisa di lakukan.

Apakah Pemda menutup mata atas hal ini?. Atau pura-pura dan tidak mau tahu, asal buat program yang bisa menguntungkan dirinya?. Setidaknya ini menjadi kenyataan pahit di daerah ini, yang sudah lama berdiri dengan limpahan sumber daya alam berlimpah tetapi dalam menyiapkan energi listrik saja tidak mampu. Sungguh sangat ironis sekali. Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menjadi korban dan mendapat keuntungan adalah pejabat elit.
* * *

selengkapnya

Oleh : Ruslan Husen

“Nampaknya, gerah dan bingung Pak, ada apa?” Tanya Sara kepada suaminya.
Suami Sara adalah kepala Kejaksaan Tinggi di kota ini, ia cukup di kenal karena dahulunya adalah aktivis mahasiswa yang cukup idealis serta telah menulis beberapa buku berkaitan dengan hukum.

“Itulah Bu, saya agak bingung, menghadapi kasus Dullah ini”. Kata suami Sara.
Kasus Dullah ini, merupakan kasus lokal yang kontroversial. Proses hukumnya nya telah menyita perhatian masyarakat nasional tetapi juga dunia internasional. Dullah yang beragama Katolik ini telah di vonis atas pembunuhan (pembantaian) terhadap satu keluarga muslim. Vonis atas kasus itu sudah diputus di Pengadilan. Pada pengadilan tingkat pertama Dullah di Vonis hukuman mati, pada tingkat banding di pengadilan Tinggi juga hukaman mati, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Dullah juga tetap di vonis dengan hukuman mati. Hingga permohonan pengampunannya kepada Presiden juga di tolak.

“Saya sebenarnya tidak memandang dari agama apa Dullah itu, dan saya juga tidak kenal siapa yang menjadi korbannya. Yang saya pentingkan itu, adalah dapat berbuat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Tetapi mengapa saya di tuduh menunda-nunda eksekusi mati terhadap diri Dullah”. Kata suami Sara.


“Tenanglah Pak, tidak usah terlalu di pikirkan. Saya buatkan minuman dingin ya Pak”. Kata Sara mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Coba pikir Bu, kemarin kami di demo oleh ratusan warga minta Dullah dibebaskan, karena alasan HAM, bahwa semua orang berhak untuk hidup dan negara tidak bisa membatasi hidup seseorang. Sementara tadi siang, kami juga di demo oleh ratusan orang yang menuntut Dullah segera di eksekusi sesuai dengan putusan hukum yang berlaku di negara ini. Jadi di sana ada pertentangan, dan kami ini harus berbuat apa?”. Kata suami Sara, sambil meraih minuman yang dihidangkan isterinya.

Mereka berdua diam bergelut dengan perasaan masing-masing. Kalau sudah seperti itu persoalannya, Sara tidak memiliki pandangan lagi dalam memecahkan persoalan yang dihadapi suaminya, karena dia memang hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus rumah dan anak-anak mereka. Yang mampu ia lakukan menenangkan dan membantu apa yang di butuhkan oleh suaminya.

$ $ $ $
Kontroversi hukuman mati bukan pertama kali ini saja terjadi. Kontroversi ini sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu di berbagai negara. Indonesia termasuk negara yang masih mengadopsi hukuman mati, sehingga ada beberapa pihak yang meminta hukuman mati ini dihapuskan saja, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sementara ada juga meminta dipertahankan, karena hukuman mati tersebut ada landasan yuridisnya.

Kelompok yang menentang putusan mati menganggap jiwa seseorang itu tidak bisa di campuri apalagi di ambil alih oleh negara. Yang bisa mengambil alih jiwa manusia hanyalah Tuhan, kerana Dialah yang telah menciptakan-Nya. Jiwa manusia adalah hak asasi setiap insan yang tidak bisa dihilangkan. Penghilangan itu pada hakikatnya mengambil alih fungsi Tuhan. Negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya Tuhan, negara hanya alat bagi kekuasaan tertentu. Siapa yang terkuat dalam negara, maka ia dapat mengendalikan hukum itu.

Sementara kelompok yang mendukung hukuman mati, berlindung pada otoritas yang dimiliki negara dalam mengatur warganya termasuk memberlakukan hukuman mati. Bahwa legalnya hukuman mati telah terdapat dalam UU. Sehingga ia menjadi hukum positif yang mengatur tingkah laku warga negara.
Hukuman mati itu sebelumnya sudah harus ada sebelum perbuatan dilakukan. Begitu kompleksnya kehidupan sampai bervariasinya kejahatan yang ada, hingga hukuman yang ringan sampai hukuman terberat harus ada. Membunuh satu nyawa dalam negara ini akan dihukum 15 tahun, lalu kalau membunuh satu keluarga yang didalamnya ada ayah, ibu, anak-anak, pembantu dan kakek, apakah pelakunya harus dibiarkan hidup juga sementara ia juga sebelumnya telah melakukan pembantaian itu. Membunuh satu nyawa ibaratnya membunuh 100 orang, membunuh satu keluarga sama halnya dengan membunuh Tuhan. Tuhan maha adil, memberikan ketegasan kepada orang yang berbuat kezaliman dengan di hukum yang berat sampai hukuman mati.
Disamping itu,

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), yang setiap sengketa dan persoalan harus dilakukan melalui jalur hukum. Sehingga institusi hukum beserta sistem hukum lain di akui keberadaannya, yakni peraturan yang berlaku dan budaya masyarakat yang mendukung serta sarana dan prasarana yang memadai.

Dalam konteks itu sedemikian ideal, namun dalam kenyataannya politik lebih mendominasi penegakan hukum. Kekuatan politiklah yang lebih berkuasa mengarahkan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang berlaku telah mengarahkan suatu persoalan kepada tujuan yang ingin dicapai hukum itu, namun intervensi politik mengalihkan tujuan itu karena adanya tekanan yang kuat terhadap institusi pelaksana hukum itu.

Yang bisa diharapkan dalam melakukan kontrol adalah media massa dan masyarakat secara umum dengan melakukan monitroing terhadap proses yang sedang berlangsung. Media massa di tuntut memberitakan secara independen, berimbang dan bertanggunjawab, dengan tidak mengarahkan kepada opini tertentu. Penilain terhadap pemberitaan media itu diserahkan sepenuhnya pada masyarakat.

Persoalannya adalah ketika media tidak independen lagi dan pro pada kekuasaan negara seperti saat orde baru berkuasa, maka dominasi politik atas hukum akan semakin menjadi-jadi, tidak akan di temukan supremasi hukum apabila melibatkan elit politik. Semuanya keputusan hukum dapat diarahkan menuju kehendak penguasa, walaupun ada mekanisme sidang dalam menghasilkan keputusan namun semuanya hanya merupakan sandiwara yang mengelabui publik.

Setelah kejatuhan orde baru, menjadikan peran pers menjadi pilar ke empat demokrasi. Pers di beri kewenangan untuk mengawasi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengawasaan itu sebagai tanggung jawab sosial pada publik dengan tidak memberitakan yang baik-baik saja, tetapi kebusukan dan konspirasi jahat para pelaksana kekuasaan negara itu juga harus diberitakan.

Sebagai contoh begitu pentingnya peran Pers dalam kasus elit seperti Presiden Soeharto dan korupsi Akbar Tanjung. Pers akan memberitakan segala aspek yang menyangkut proses peradilan tokoh itu dan itu akan di konsumsi oleh publik. Hakim, jaksa dan pengacara akan bertindak dengan hati-hati sebab pengawasan publik yang begitu melekat.

Tetapi ketika pers tidak berperan dalam kasus Stepanus yang mencuri ayam, maka peluang terjadinya pelanggaran yang dilakukan institusi pengadilan sangat terbuka. Tidak akan ada yang memperhatikan pemukulan yang menimpa Stepanus, dan penyogokan yang dilakukan keluarganya. Sebab kasusnya kecil yang melibatkan orang kecil pula. Memang persoalan pemukulan dan penyuapan itu besar jika diketahui publik, tetapi akses yang melibatkan orang kecil tidak menarik, dan itu sudah di anggap biasa saja.
Memang dalam penegakan hukum diutamakan idealisme dari pelaksana hukum itu, yang berusaha menemukan titik keadilan dan kebenaran. Institusi hukum harus membongkas mitos yang mengatakan, “Di dalam pengadilan tidak akan ditemukan keadilan, malah di sana ketidak-adilan yang merajalela”. Ketidak percayaan publik terhadap institusi pelaksana hukum yang korup, penuh rekayasa dan permainan. Makanya sering terjadi penghakiman secara massa.

Tetapi zaman terus berlalu, arah baru Indonesia terbuka lagi setelah tumbangnya rezim otoriter orde baru. Perbaikan sistem hukum untuk mencapai tujuan hukum, dilakukan dengan melakukan terobosan pada produk perundang-undangan yang mengatur sisi kehidupan masyarakat. Perbaikan/reformasi institusi penegak hukum dan pembenahan sarana dan prasarana hukum serta sosialisasi dan penggalian nilai-nilai kultural yang ada dalam masyarakat. Semoga ini bisa berhasil.
Diperbaharui 11/1/11

selengkapnya